Jerat Hukum Bagi Perusak Barang / Tanaman Milik Orang Lain

•01/05/2024 • Tinggalkan sebuah Komentar

Pasal 79 ayat (1) UU 1/2023 adalah: Setiap Orang yang secara melawan hukum merusak, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai, atau menghilangkan Barang yang gedung atau seluruhnya milik orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 6 Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV, Rp200 juta.

Pada dasarnya, merusak tanaman milik orang lain berarti merusak barang milik orang lain. Mengenai pengrusakkan barang milik orang lain, hal tersebut diatur dalam Pasal 406 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:

“Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Unsur-unsur Pasal 406 ayat (1) KUHP adalah sebagai berikut:

1.    Barangsiapa (seseorang);

2.    Dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan menghancurkan, merusakkan, membuat tidak dapat dipakai, atau menghilangkan;

3.    Barang yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain.

Apabila perbuatan tersebut dilakukan oleh lebih dari satu orang, maka berdasarkan Pasal 412 KUHP hukuman dalam Pasal 406 ayat (1) KUHP (2 tahun 8 bulan) akan ditambah dengan sepertiganya.

Akan tetapi, ini hanya berlaku apabila kerugian yang diderita oleh korban lebih dari Rp. 250,- (dua ratus lima puluh rupiah), yang berdasarkan Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batas Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, jumlah tersebut telah dikonversi menjadi Rp. 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah). Sehingga apabila jumlah kerugian akibat perusakan tanaman tersebut tidak lebih dari Rp. 2.500.000,-, maka pasal yang akan digunakan adalah Pasal 407 ayat (1) KUHP dan atas perusakan yang dilakukan bersama-sama tersebut tidak dapat dikenakan Pasal 412 KUHP.

unsur-unsur dari Pasal 406 ayat (1) KUHP, yaitu:

Barang siapa;
Dengan sengaja dan melawan hukum;
Melakukan perbuatan menghancurkan, merusakkan, membuat tidak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu; dan
Barang tersebut seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain.
Apabila semua unsur dalam pasal perusakan KUHP tersebut terpenuhi, pelakunya dapat dihukum pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau denda paling banyak Rp4,5 juta, sebagaimana telah disesuaikan dengan Perma 2/2012. Menurut hemat kami, pemenuhan unsur di atas juga kurang lebih berlaku bagi Pasal 521 UU 1/2023 sebagaimana rumusan yang disebutkan.

Adapun Penjelasan Pasal 521 ayat (1) UU 1/2023 menerangkan yang dimaksud dengan “merusak” adalah membuat tidak dapat dipakai untuk sementara waktu, artinya apabila barang itu diperbaiki maka dapat dipakai lagi. Sementara yang dimaksud dengan “menghancurkan” adalah membinasakan atau merusakkan sama sekali sehingga tidak dapat dipakai lagi.

Jerat Hukum Pasal 406 KUHP atau Pasal 521 UU 1/2023
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, mari kita simak bunyi pasal tentang perusakan dalam KUHP yang lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan serta UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[1] yakni pada tahun 2026 sebagai berikut.

Pasal 521 UU 1/2023

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.[2]
Dijatuhkan pidana yang sama terhadap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum membunuh, merusakkan, membikin tak dapat digunakan atau menghilangkan hewan, yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain.

Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.[2]
Dijatuhkan pidana yang sama terhadap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum membunuh, merusakkan, membikin tak dapat digunakan atau menghilangkan hewan, yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain.

Setiap orang yang secara melawan hukum merusak, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai, atau
menghilangkan barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta.[3]
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian yang nilainya tidak lebih dari Rp500 ribu, pelaku tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.[4]
Anda menyebutkan perusakan, adapun unsur-unsur dari Pasal 406 ayat (1) KUHP, yaitu:

Barang siapa;
Dengan sengaja dan melawan hukum;
Melakukan perbuatan menghancurkan, merusakkan, membuat tidak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu; dan
Barang tersebut seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain.
Apabila semua unsur dalam pasal perusakan KUHP tersebut terpenuhi, pelakunya dapat dihukum pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau denda paling banyak Rp4,5 juta, sebagaimana telah disesuaikan dengan Perma 2/2012. Menurut hemat kami, pemenuhan unsur di atas juga kurang lebih berlaku bagi Pasal 521 UU 1/2023 sebagaimana rumusan yang disebutkan.

Dasar hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP.

TAFSIR DELIK PENYERANGAN DI PASAL 170 KUHP

•25/03/2024 • Tinggalkan sebuah Komentar
Tommy Utama, S.H
Tentang Pasal 170 

Pasal 170 KUHP berada dalam BUKU II tentang Kejahatan dan di BAB V tentang Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum. Perlu dijelaskan lebih dahulu mengapa Pasal 170 ditempatkan dalam  Kejahatan terhadap Ketertiban Umum dan apa makna/tafsir penempatan pasal ini dalam BAB V tersebut. J.M. Van Bemmelen memberikan penjelasan terhadap Pasal 170 bahwa kejahatan yang diatur dalam Pasal 170 merupakan tindak pidana yang ditujukan  terhadap penguasa umum, misalnya menyerang polisi  yang bertugas saat melakukan demonstrasi atau merusak fasilitas umum.

Di negeri Belanda menurutnya Pasal 170 (= Pasal 141 straftwetboek Belanda)   sering digunankan untuk perbuatan dalam rangka unjuk rasa (demonstrasi) yang sering disertai lemparan-lemparan batu ke arah petugas yang sedang menjaga demonstrasi tersebut atau yang sedang menjaga keamanan.

Dalam konteks Indonesia Pasal ini pun ditujukan kepada mereka-mereka yang melakukan demonstrasi lalu menyerang petugas, merusak fasilitas umum dan mengganggu keamanan publik. Jadi pasal ini dirancang untuk melindungi masyarakat umum, menjaga ketertiban umum dan berlangsung di dalam ruang publik.

Penempatan Pasal 170 dalam BAB V sebagai delik “Kejahatan terhadap Ketertiban Umum”, maka dimaknai sebagai tujuan utama perbuatan tersebut adalah mengganggu ketertiban umum, sehingga harus bisa dibuktikan kejahatan yang dilakukan untuk membuat suasana tidak aman. 

Adanya orang yang luka atau mati serta rusaknnya barang-barang bukanlah tujuan utama dari Pasal 170 ini, melainkan akibat dari perbuatan menggunakan kekerasan secara bersama-sama.

Kejahatan terhadap ketertiban umum secara garis besarnya adalah sekumpulan kejahatan-kejahatan yang menurut sifatnya dapat menimbulkan bahaya terhadap keberlangsungan hidup masyarakat dan dapat menimbulkan gangguan-gangguan terhadap ketertiban di dalam lingkungan masyarakat.

Kejahatan terhadap ketertiban umum di dalam m.v.t (memory van toelichting) diartikan sebagai kejahatan yang sifatnya dapat menimbulkan bahaya bagi kehidupan masyarakat dan dapat menimbulkan gangguan bagi ketertiban alamiah dalam masyarakat. Bahkan Van Bemmelen dan Van Hattum  menegaskan kejahatan terhadap ketertiban umum  untuk menjaga berfungsinya masyarakat dan negara.

Contoh kongkrit,  kejahatan  terhadap ketertiban umum sebagaimana diatur dalam KUHP adalah : Penodaan terhadap bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, dan lambang negara; Menyatakan perasaan permusuhan terhadap pemerintah; Menyatakan perasaan permusuhan terhadap golongan tertentu; Menghasut di muka umum umum yang menimbulkan kekacauan.

Secara doktrin, dan yang  dianut KUHP Indonesia dan juga KUHP Belanda, maka tindak pidana yang ada saat ini diatur KUHP dibagi menjadi tiga bagian yaitu Bagian I : Tindak pidana terhadap negara; Bagian II tindak pidana terhadap masyarakat; Bagian III tindak pidana kepada pribadi. Pembagian ini sesuai dengan pembagian kepentingan kelompok yang ingin dilindungi oleh KUHP.

Pasal 170 KUHP dimaknai sebagai perlindungan hukum kepentingan masyarakat dari gangguan ketertiban dan bukan dimaksudkan melindungi kepentingan individu. Dalam memorie van toelichting (mvt) malah disebutkan bahwa delik ini ditujukan kepada kelompok-kelompok yang secara terang-terangan ingin mengganggu ketertiban publik bukan untuk melukai orang-orang per orang atau petugas yang sedang melaksanakan tugasnya. Terjadi luka dan kerusakan adalah ekses dari perbuatan itu.

Pada intinya harus ditemukan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh gerombolan atau kelompok tersebut ingin mengacau atau membuat ketidaknyamanan dalam masyarakat luas.  Delik ini ditujukan untuk membuat suasana tidak aman, sehingga jika terjadi timbulnya luka, kematian, kerusakan maka tanggung jawab atas kejadian tersebut ada pada individu yang melakukan perbuatan tersebut, sehingga masing-masing peserta dari rombongan tersebutlah yang bertanggung jawab secara sendiri-sendiri beserta akibat-akibatnya tidak dipertanggungjawabkan kepada orang yang tidak melakukan perbuatan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar orang yang tidak melakukan perbuatan pengrusakan dan bentuk serangan lainnya tidak dipidana.

Pasal ini harus dibedakan dengan Pasal 358 KUHP. Pasal 385 KUHP terletak di BUKU II tentang Kejahatan dan berada di BUKU XX tentang Penganiayaan. Pasal ini juga Pasal penyerangan atau perkelahian yang dilakukan oleh gerombolan atau kelompok yang ditujukan kepada individu tertentu atau bahkan petugas tertentu dan tidak dimaksudkan untuk mengganggu ketertiban atau keamanan publik.

Sejak awal kelompok ini punya niat ingin melakukan serangan kepada orang tertentu secara bersama-sama dan bukan ingin membuat kekacauan dan keamanan umum. Tujuannya dari perbuatan ini adalah nyata-nyata ingin merusak, ingin menganiaya yang bisa menimbulkan luka berat atau kematian.

Unsur-Unsur Pasal 170 KUHP

Sebelumnya menjelaskan unsur-unsur Pasal 170, maka dijelaskan lebih dahulu tentang isi Pasal 170 yang dikutip dari buku R. Soesilo, sebagai berikut :

  • Barangsiapa yang dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan;
  • Bersalah dihukum :

1e. dengan penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika ia dengan sengaja merusakkan barang atau jika kekerasan yang dilakukkannya itu menyebabkan sesuatu luka;

2e. dengan penjara selama-lamanya Sembilan tahun, jika kekerasan itu menyebabkan luka berat pada tubuh

3e. dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika kekerasan itu menyebabkan matinya orang.

Berikut ini dijelaskan tentang unsur-unsur dari Pasal 170 beserta penjelasannya:

Barang siapa : Barangsiapa ditafsirkan sebagai orang, namun orang dalam jumlah yang besar, dan jumlah ini tidak ditentukan oleh KUHP berapa banyak, namun para ahli sependapat minimal dua orang atau lebih, secara bersama-sama

Dimuka umum: Artinya perbuatan tersebut dilakukan bukan ditempat yang tersembunyi tetapi publik dapat mengakses tempat tersebut, atau dalam Bahasa Wirjono Prodjodikoro “bahwa ada orang banyak bisa melihatnya (in het openbaar)”. R. Soesilo menyatakan ditempat umum diartikan sebagai suatu tempat dimana publik dapat melihatnya. J.M. van Bemmelen dengan mengutip putusan HogeRaad (Mahkamah Agung Belanda) menyatakan bahwa pasal ini tidak berlaku untuk tindakan kekerasan yang dilakukan di tempat sunyi, yang tidak mengganggu ketenangan umum, termasuk tindak itu dilakukan di jalan raya namun public tidak terusik, maka Pasal ini juga tidak bisa dikenakan, karena salah satu syarat tidak terpenuhi.

Secara bersama-sama : Secara bersama-sama artinya pelaku-pelaku bersekongkol untuk melakukan kekerasan. Bersekongkol ini bisa dilakukan saat kejadian atau sebelum kejadian sudah ada persengkolan itu untuk melakukan kekerasan.

Melakukan kekerasan :  R. Soesilo menyatakan bahwa “mempergunakan  tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara tidak syah” misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak menendang dsb.”.

Terhadap orang atau barang : Jadi orang disini bisa siapa saja tidak memandang kedudukan dan pangkatnya. Barang yang diserang atau dirusak adalah barang-barang milik siapa saja tidak tergantung siapa pemiliknya.

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua tindak kekerasan (tindak pidana) yang dilakukan secara bersama-sama dapat menggunakan Pasal 170 KUHP. Kualifikasi dari delik ini adalah untuk mengganggu ketertiban umum, artinya harus bisa dibuktikan bahwa para pelaku yang melakukan tindak pidana pidana punya niat ingin membuat kakacauan  sehingga menimbulkan rasa takut pada masyarakat. Untuk membuat gangguan keamanan pada masyarakat ini, ada sekolompok orang atau beberapa orang yang melakukan perbuatan yang menimbulkan luka atau kematian atau kerusakan pada barang-barang di tempat umum. Jadi timbulnya kerusakan, luka atau kematian bukanlah tujuan utama dari delik ini. Dengan demikian, proses pembuktiannya adalah harus bisa ditemukan rangkaian perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang. Rangkaian perbuatan tersebut bersifat logis, dan rasional.

By ; Tommy Utama, S.H

Advokad/Konsultan Hukum

PASAL 170 KUHP TIDAK TEPAT, JIKA TUJUAN NYA MEMBELA DIRI. BACA  PASAL 49 KUHP.

•11/03/2024 • Tinggalkan sebuah Komentar

Pembelaan diri diatur dalam Pasal 49 KUHP dibagi menjadi dua jenis yaitu pembelaan diri dan pembelaan diri luar biasa. Pasal 49 ayat (1) KUHP menjelaskan pembelaan diri merupakan tindak pidana, barangsiapa melakukan tindakan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan, kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain yang terjadi karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat dan yang melawan hukum pada saat itu.

Sementara itu, pembelaan diri luar biasa dijelaskan dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP yang berbunyi, pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan oleh guncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

Dalam perbuatan pembelaan diri, tidak semua segala perbuatan membela diri dapat dijustifikasi oleh pasal tersebut, ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam pembelaan diri, yaitu:

  1. Serangan dan ancaman yang melawan hak yang mendadak dan harus bersifat seketika (sedang dan masih berlangsung) yang berarti tidak ada jarak waktu yang lama, begitu orang tersebut mengerti adanya serangan, seketika itu pula dia melakukan pembelaan.
  1. Serangan tersebut bersifat melawan hukum, dan ditujukan kepada tubuh, kehormatan, dan harta benda baik punya sendiri atau orang lain.
  2. Pembelaan tersebut harus bertujuan untuk menghentikan serangan, yang dianggap perlu dilakukan berdasarkan asas proporsionalitas dan subsidiaritas.
  3. Pembelaan harus seimbang dengan serangan dan tidak ada cara lain untuk melindungi diri kecuali dengan melakukan pembelaan dimana perbuatan tersebut melawan hukum.

Pasal 49 KUHP digunakan sebagai alasan pemaaf dan bukan untuk pembenaran perbuatan melanggar hukum. Hal ini karena seseorang yang terpaksa melakukan tindak pidana, dapat dimaafkan karena terjadi pelanggaran hukum yang mendahului perbuatan tersebut.

Menurut R. Soesilo dalam buku ‘Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, ada 3 syarat pembelaan darurat, yaitu:

  1. Perbuatan yang dilakukan harus terpaksa dilakukan untuk mempertahankan. Pertahanan itu harus amat perlu, boleh dikatakan tidak ada jalan lain. Di sini harus ada keseimbangan yang tertentu antara pembelaan yang dilakukan dengan serangannya. Untuk membela kepentingan yang tidak berarti misalnya, orang tidak boleh membunuh atau melukai orang lain.
  2. Pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal tersebut, yaitu badan, kehormatan, dan barang diri sendiri atau orang lain.
  3. Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga.

KUHP mengatur mengenai perbuatan yang dilakukan seseorang untuk mempertahankan diri atau barangnya dari serangan melawan hak. Pembelaan darurat dalam rangka mempertahankan diri, tidak dapat dikatakan melanggar asas praduga tidak bersalah atau dikatakan main hakim sendiri.

Aparat penegak hukum perlu menentukan apakah sebuah kejadian merupakan lingkup perbuatan pembelaan diri atau tidak dengan mempertimbangkan unsur-unsur pembelaan diri yang ditentukan oleh undang-undang.

Keseimbangan antara kepentingan hukum yang dilindungi dari serangan dengan kepentingan hukum dilanggar dengan pembelaan atau keseimbangan antara cara pembelaan yang dilakukan dengan cara serangan yang diterima.

Jika terdapat cara perlindungan lain untuk menjauhkan serangan dan ancaman, maka pembelaan tidak boleh dilakukan dengan memilih cara paling berat dengan mengorbankan nyawa seseorang.

Pada pembelaan diri luar biasa, tindakan pembelaan diri yang melampaui batas disebabkan oleh guncangan jiwa yang hebat. Tindakan tersebut tetap dianggap melawan hukum, namun tidak dijatuhi pidana karena jiwa yang terguncang menjadi alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa.

Pembelaan diri terpaksa yang melampaui batas menjadi dasar alasan pemaaf yang mengahapuskan keselahan orang tersebut.

Unsur-unsur Pasal 170 KUHP

Dari bunyi Pasal 170 ayat (1) KUHP di atas, dapat dipahami apa saja unsur-unsur pasal tersebut adalah:[4]

 

  1. Unsur Subjektif

Barang siapa, yaitu subjek tindak pidana atau pelaku tindak pidana. Dengan menggunakan kata barang siapa mengandung arti bahwa siapa saja dapat menjadi subjek atau pelaku tindak pidana Pasal 170 ayat (1) KUHP.[5]

 

  1. Unsur Objektif
    1. Dengan terang-terangan/secara terbuka, yaitu tempat atau lokasi terjadinya peristiwa tindak pidana tersebut adalah tempat umum yang dapat terlihat oleh publik.
    2. Dengan tenaga bersama, berarti tindakan kekerasan tersebut harus dilakukan oleh sedikit-dikitnya dua orang atau lebih pelaku.
    3. Menggunakan kekerasan, misalnya mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani secara tidak sah, misalnya memukul dengan tenaga atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang, dan sebagainya.
    4. Terhadap orang/manusia atau barang, yaitu menurut R. Soesilo, kekerasan yang dilakukan biasanya terdiri atas merusak barang atau penganiayaan, akan tetapi dapat pula kurang dari itu, sudah cukup misalnya bila orang-orang melemparkan batu pada orang lain atau rumah, atau membuang-buang barang-barang dagangan sehingga berserakan, meskipun tidak ada maksud untuk menyakiti orang atau merusak barang itu.[6]

Dari penjelasan di atas dapat di simpulkan jika membela diri dalam kondisi terdesak, tidak dapat di pidana. Sesuai dengan pasal 49 KUHP.  Dan unsur unsur subjektif dari pasal 170 KUHP dapat di artikan sebagai pasal mengganggu ketertiban umum.  Akan berbeda jika pasal 170 KUHP di gunakan pada pelaku yang tidak memenuhi unsur materil dari pasal 170 KUHP. 

Kekeliruan menggunakan PASAL dalam proses hukum, tentu sangat memprihatinkan, penyidik harus jeli dalam menggunakan pasal dalam proses penyidikan. 

Salam

Tommy Utama, S.H

Advokad / konsultan hukum

SPeed LAW FIRM & PARTNER – PT ARARA ABADI Sengketa Tanah. Berhasil di menangkan team hukum SPeed Law firm.

•13/01/2024 • Tinggalkan sebuah Komentar

Warga Desa Tasik Serai, Kecamatan Talang Muandau Kabupaten Bengkalis bernama Depan Samosir umur 60 tahun, meski kondisinya tidak sehat disebabkan menderita sakit ginjal yang sudah bertahun lamanya ditetapkan menjadi terdakwa lantaran dilaporkan Humas PT Arara Abadi, Lambok M H Pardede dengan tuduhan dugaan tindak pidana “orang perseorang yang dengan sengaja melakukan kegiatan perkebunan tanpa perizinan berusaha di dalam kawasan hutan”, sesuai yang dimaksud Pasal 92 Ayat (1) huruf a jo Pasal 17 Ayat (2) huruf b Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan sebagaiman telah diubah dengan Pasal 37 angka 16 Undang-Undang RI Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Menurut anak kandung Depan Samosir, Maruli H Samosir dilaporkannya ayahnya oleh Humas PT Arara Abadi, perusahaan yang bergerak di sektor perkayuan hingga saat ini menjadi terdakwa sangat disesal pihak keluarga. Soalnya, proses lidik dan sidik yang dilakukan Kepolisian Sektor Kecamatan Pinggir, Polres Bengkalis dari tahun 2019 lalu hingga masa penahanan mulai Maret 2022, dan akhirnya P21 terus menjadi terdakwa terkesan dipaksakan.

Diceritakan Maruli H Samosir, lahan seluas 5,8 hektar berada di kilometer 38 Desa Tasik Serai Kecamatan Talang Muandau, Duri Kabupaten Bengkalis, dibeli ayah dari Sihombing. Saat ayah membeli lahan tersebut pada 2017 silam memiliki surat dasar atas nama Azis M yang diteken Kepala Desa Tasik Serai, Hasan C tahun 1998 tidak ada masalah, tidak bersengketa dengan pihak siapapun, dan termasuk PT Arara Abadi tidak ada masalah, serta kondisi lahan tersebut sudah ditanami kelapa sawit setinggi 8 meter.

“Setelah hampir lima tahun lamanya menjadi milik dan diusahai ayah tiba-tiba, perusahaan memasukkan alat berat pada 2019, dengan alasan perusahaan mau mengelola lahan. Abang saya saat itu berada di lahan melarang, dan sempat terjadi perdebatan, dan akhirnya pihak perusahaan mundur seraya bertanya batas-batas lahan. Abang sayapun memberitahukan dan menunjukkan batas-batas lahan terbuat dari patok-patok kayu,” ulasnya.

Dilanjutkan Maruli, mendengar penjelasan dari abang, pihak perusahaan terus membuat parit atau kanal berbentuk letter L. Tapi, dua minggu setelah peristiwa tersebut, tiba-tiba ayah menerima surat panggilan dari Polsek Pinggir.

“Ayah datang ke kantor Polsek Pinggir untuk penuhi panggilan. Di sana, ayah dicerca atau ditanya soal legilitas lahan. Ayah pun menunjukkan surat menyurat lahan, dan kepolisian mengizinkan ayah pulang kerumah.

Perkara dugaan tindak pidana yang menjerat ayah terkait lahan sawit seluas 5,8 hektar tersebut dua tahun lamanya tak berproses.

Nah, pada bulan Februari 2022, ayah menerima surat panggilan kepolisian, lantaran sakit ayah tak bisa hadir untuk penuhi panggilan polisi. Selang beberapa waktu, di bulan dan tahun yang sama ayah menerima lagi surat panggilan dari kepolisian. Itu tadi, ayah tak dapat hadir untuk penuhi panggilan polisis disebabkan sakit. Akhirnya pada Marer 2022 personel Polsek Kecamatan Pinggir jemput paksa ayah dengan kondisi masih sakit.

“Orang tua saya disangkakan dugaan tindak pidana “orang perseorang yang dengan sengaja melakukan kegiatan perkebunan tanpa perizinan berusaha di dalam kawasan hutan”. Begitu tertuang di surat pemberitahuan dimulainya penyidikan Nomor SPDP/13/II/2022/Reskrim pada 26 Februari 2022.

“Saya tidak habis pikir Pak. Kalau ayah memang melanggar sesuai dengan yang disangkakan diduga telah melanggar tindak pidana. Maaf, warga lain ada yang memiliki dan mengusahai lahan dengan menanam berbagai tanaman berbatasan langsung dengan lahan yang ayah miliki dan usahai sudah bertahun lamanya, bahkan di titik koordinat hampir sama, kenapa tidak dilaporkan Humas PT Arara Abadi ke polisi. Hal ini yang mengherankan bagi kami pihak keluarga, sebab bukan ayah saja yang memiliki dan mengusahai lahan di lokasi tersebut,” bebernya.

“Begitu tiba di kantor Polsek Pinggir kondisinya Depan Samosir sudah dalam keadaan tergeletak menahan rasa sakit,” jelasnya.

Selanjutnya kata Buha Manik, klien kami pas di BAP mestinya ditanya apakah dalam keadaan sehat. Pertanyaan ini sepertinya tida ada padahal klien kami saat dimulai dilakukan penyidikan konisinya lagi sakit.

Selain itu, sebelum lebaran saya ke Polsek Pinggir temui penyidik yang sidik perkara untuk minta BAP. Penyidik perkara tersebut menyuruh saya ke kantin Polsek Pinggir untuk menemuai polisi lainnya. Di kantin Polsek Pinggir tersebut saya utarakan tujuan meminta BAP. Jawabannya polisis cukup mengagetkan, katanya BAP sifarnya rahasia. Ini tentu bertentangan dengan undang-undang yang berlaku saat ini.

“Kita sudah meminta ajukan BAP pada Selasa lalu, tapi permintaan kita belum disampaikan dan diakomodir, kita saat ini sifatnya menunggu,” ujarnya.

Kuasa hukum Depan Samosir, Advokat Tommy SH dan Patner menjelaskan, dari awal perkara dugaan tindak pidana yang menjerat Depan Somosir ini terdapat beberapa kejanggalan, yakni saat klien kami ditangkap didampingi Ketua RT setempat dalam keadaan menderita sakit ginjal.

“Begitu tiba di kantor Polsek Pinggir kondisinya Depan Samosir sudah dalam keadaan tergeletak menahan rasa sakit,” jelasnya.

Selanjutnya kata Buha Manik, klien kami pas di BAP mestinya ditanya apakah dalam keadaan sehat. Pertanyaan ini sepertinya tida ada padahal klien kami saat dimulai dilakukan penyidikan konisinya lagi sakit.

Selain itu, sebelum lebaran saya ke Polsek Pinggir temui penyidik yang sidik perkara untuk minta BAP. Penyidik perkara tersebut menyuruh saya ke kantin Polsek Pinggir untuk menemuai polisi lainnya. Di kantin Polsek Pinggir tersebut saya utarakan tujuan meminta BAP. Jawabannya polisis cukup mengagetkan, katanya BAP sifarnya rahasia. Ini tentu bertentangan dengan undang-undang yang berlaku saat ini.

“Kita sudah meminta ajukan BAP pada Selasa lalu, tapi permintaan kita belum disampaikan dan diakomodir, kita saat ini sifatnya menunggu,” ujarnya.

Soal dakwaan sambung Ikhsan SH, sudah kita terima dan dibacakan pada agenda sidang pada Selasa (24/5). Kita memohonkan tadi pada majlis hakim untuk sidang selanjutnya agar menghadirkan terdakwa di ruang sidang lantaran ada gangguan pendengaran yang dialami terdakwa.

“Jaksa mendakwa dengan pasal tunggal, kita akan lihat bagaimana jaksa penuntut umum membuktikan dalil yang didakwakannya pada terdakwa. Untuk perkaranya nanti bakal kita mohonkan agar dihadirkan saksi verbalisan, yakni penyidik kepolisian, untuk kita konfirmasi fakta pemeriksaan yang tertuang dalam BAP,” sebutnya.

Humas PT AA Disrik Duri, Lambok M H Pardede kepada wartawan pada Selasa (24/5) mengaku dirinya yang melapor ke Polsek Pinggir.

“Intinya Pak Depan Samosir menguasai dan menanam di areal konsesi PT Arara abadi sesuai dengan izin yang diberikan dari kementrian lingkungan hidup dan kehutanan kepada PT Arara Abadi,” tegasnya.

Untuk perkaranya sudah tahap 2, sudah pelimpahan berkas ke kejaksaan, untuk lebih jelasnya lagi mengenai perkaranya silahkan bertanya ke penyidiknya Polsek Pinggir, sebutnya.

Soal dakwaan sambung Ikhsan SH, sudah kita terima dan dibacakan pada agenda sidang pada Selasa (24/5). Kita memohonkan tadi pada majlis hakim untuk sidang selanjutnya agar menghadirkan terdakwa di ruang sidang lantaran ada gangguan pendengaran yang dialami terdakwa.

“Jaksa mendakwa dengan pasal tunggal, kita akan lihat bagaimana jaksa penuntut umum membuktikan dalil yang didakwakannya pada terdakwa. Untuk perkaranya nanti bakal kita mohonkan agar dihadirkan saksi verbalisan, yakni penyidik kepolisian, untuk kita konfirmasi fakta pemeriksaan yang tertuang dalam BAP,” sebutnya.

Humas PT AA Disrik Duri, Lambok M H Pardede kepada wartawan pada Selasa (24/5) mengaku dirinya yang melapor ke Polsek Pinggir.

“Intinya Pak Depan Samosir menguasai dan menanam di areal konsesi PT Arara abadi sesuai dengan izin yang diberikan dari kementrian lingkungan hidup dan kehutanan kepada PT Arara Abadi,” tegasnya.

Untuk perkaranya sudah tahap 2, sudah pelimpahan berkas ke kejaksaan, untuk lebih jelasnya lagi mengenai perkaranya silahkan bertanya ke penyidiknya Polsek Pinggir, sebutnya.

KEPASTIAN HUKUM BAGI TANAH ADAT SETELAH ADANYA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA

•03/01/2024 • Tinggalkan sebuah Komentar

Ketentuan sebagai negara hukum (rechstaat) mempunyai alasan yang kuat dan jelas untuk kepentingan warga negara itu sendiri. Menurut Gustav Radbruch[1], seorang filsuf hukum Jerman mengajarkan konsep tiga ide unsur dasar hukum yang oleh sebagian pakar diidentikkan sebagai tiga tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Sebagai negara hukum, pengakuan hak atas kepemilikan telah diatur dalam berbagai peraturan perundangan-undangan, aturan tersebut mengikat setiap warga negara bahkan pemerintah sendiri agar tercipta jaminan kepastian hukum mengenai hak seseorang, hal ini sejalan dengan teori hukum yang dikembangkan oleh Roscou Pound yaitu hukum adalah alat rekayasa sosial (Law as a tool of social engineering).

Kewajiban negara dalam mengatur lintas hubungan hukum antara individu dengan individu lainnya atau dengan badan hukum dengan badan hukum lainnya sehingga adanya kepastian hukum bagi masing-masing pihak dengan tidak ada yang merugikan pihak lain karena ada aturan hukum didepan mereka.

Pengaturan hak atas tanah merupakan salah satu kewajiban negara untuk mengaturnya demi terwujudnya kepastian hukum serta terjaganya hak-hak masing-masing pihak. Selain kepastian hukum, aturan hukum yang ada dalam negara ini juga memberikan perlindungan hukum bagi pengakuan hak-hak warga negaranya.

Pendaftaran tanah merupakan amanat dari Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, secara jelas disebutkan dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

          Selanjutnya, dengan adanya amanat undang-undang ini maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1960 tentang Pendaftaran Tanah yang mana kemudian direvisi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

          Pengertian Pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

          Secara jelas dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah ini menyebutkan yaitu ayat (1) bahwa obyek pendaftaran tanah meliputi: a. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai, b. Tanah hak pengelolaan, c. Tanah wakaf, d. Hak milik atas satuan rumah susun, e. Hak tanggungan, f. Tanah negara. Ayat (2) bahwa dalam tanah negara sebagai obyek pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, pendaftarannya dilakukan dengan cara membukukan bidang tanah yang merupakan tanah negara dalam daftar tanah.

          Tujuan utama dari pendaftaran tanah adalah adanya jaminan kepastian hukum bagi hak atas tanah tersebut. Dan ayat ini ditujukan kepada pemerintah selaku penanggungjawab dalam hal pengaturan pendaftaran tanah. Sedangkan Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA ditujukan kepada pemegang hak, sehingga ada hak dan kewajiban antara pemerintah dengan pemegang hak atas tanah.

Pasal 23 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19. Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa pendaftaran termasuk dalam ayat 2 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut. Pasal 32 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19. Ayat (2) menyatakan bahwa pendaftaran termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hak-hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir. Pasal 38 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19. Ayat (2) menyatakan bahwa pendaftaran termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hak-hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.

Sedangkan konversi adalah pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk sistem dalam dari UUPA (A.P. Parlindungan, 1990:1).

Ketentuan konversi mengenai hak-hak tanah telah diatur dalam pada Ketentuan-Ketentuan Konversi UUPA Pasal II ayat 1 yaitu: hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam Pasal 20 ayat 1, seperti yang disebut dengan nama sebagai dibawah, yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, yaitu hak agrarisch eigendom, milik, yayasan, andarbeni hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant sultan, landirijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikilir dan hak-hak lain dengan nama apapun, juga yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi hak milik tersebut dalam pasal 20 ayat (1), kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam Pasal 21. Kemudian dilanjutkan pada ayat 2 yang berbunyi yaitu hak-hak tersebut dalam ayat 1 kepunyaan orang asing warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah sebagai yang dalam Pasal 21 ayat (2) menjadi hak guna usaha atau hak guna bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya, sebagai yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.

Kemudian dalam Pasal VI mengenai Ketentuan Konversi di UUPA menyatakan bahwa Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, yaitu : hak vruchtgebruik, gebruik, grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga, yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1) yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

          Pada Pasal VII ayat (1) menerangkan secara rinci bahwa hak gogolan, pukulen, atau sanggan yang bersifat tetap yang ada pada mulai berlakunya Undang-Undang ini menjadi hak milik tersebut pada Pasal 20 ayat (1). Ayat (2) menyatakan hak gogolan, pekulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai tersebut pada Pasal 41 ayat (1), yang memberi wewenang dan kewajiban sebagai yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya udang-undang ini. Ayat (3) menyatakan bahwa jika ada keragu-raguan apakah sesuatu hak gogolan, pekulen atau sanggan bersifat tetap atau tidak tetap, maka menteri agrarialah yang memutuskan.

Mengenai hak gogolan, pekulen atau sanggan diatur dalam Pasal 20 Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960 yang berbunyi: 1. Konversi hak-hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap menjadi hak milik sebagai yang dimaksud dalam Pasal VII ayat (1) Ketentuan-ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria dilaksanakan dengan surat keputusan penegasan Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan. 2. Hak gogolan, sanggan atau pekulen bersifat tetap kalau para gogol terus menerus mempunyai tanah gogolan yang sama dan jika meninggal dunia gogolnya itu jatuh pada warisnya tertentu. 3. Kepala Infeksi Agraria menetapkan surat keputusan tersebut pada ayat (1) pasal ini dengan memperhatikan pertimbangan sifat tetap atau tidak tetap dari hak gogolan itu menurut kenyataannya. 4. Jika ada perbedaan pendapat antara Kepala Inspeksi Agraria dan Bupati/Kepala Daerah tentang soal apakah sesuatu hak gogolan bersifat tetap atau tidak tetap, demikian juga jika desa yang bersangkutan berlainan pendapat dengan kedua pejabat tersebut, maka soalnya dikemukakan lebih dahulu kepada Menteri Agraria untuk mendapat keputusan.

         Pasal 3 Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia Atas Tanah menyatakan bahwa pasal ini mengatur tentang hak-hak yang tidak diuraikan dalam sesuatu surat hak tanah, maka oleh yang bersangkutan diajukan:

  1. Tanda bukti haknya, yaitu bukti surat pajak hasil bumi/verponding Indonesia atau bukti surat pemberian hak oleh instansi yang berwenang (kalau ada disertakan pula surat ukurnya).
  2. Surat keterangan Kepala Desa yang dikuatkan oleh asisten Wedana (camat) yang:
  1. Membenarkan surat atau surat bukti hak itu.
  2. Menerangkan apakah tanahnya tanah perumahan atau tanah pertanian.
  3. Menerangkan siapa yang mempunyai hak itu, kalau ada disertai turunan surat-surat jual beli tanahnya.
  4. Tanda bukti kewarganegaraan yang sah dari yang mempunyai hak.

Dari ketentuan Pasal 3 ini, maka khusus untuk tanah-tanah yang tunduk kepada Hukum Adat tetapi tidak terdaftar dalam ketentuan konversi sebagai tanah yang dapat dikonversikan kepada sesuatu hak atas tanah menurut ketentuan UUPA, tetapi diakui tanah tersebut sebagai hak adat, maka ditempuhlah dengan upaya “Penegasan Hak” yang diajukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah setempat diikuti dengan bukti pendahuluan seperti bukti pajak, surat jual-beli yang dilakukan sebelum berlakunya UUPA dan surat membenarkan tentang hak seseorang dan menerangkan juga tanah itu untuk perumahan atau untuk pertanian dan keterangan kewarganegaraan orang yang bersangkutan.

Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri ini menjelaskan bahwa Mengenai hak-hak yang tidak ada atau tidak ada lagi tanda buktinya, sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 2 dan 3, maka atas permohonan yang berkepentingan diberikan pengakuan hak, atas dasar hasil pemeriksanaan Panitia Pemeriksaan Tanah A tersebut dalam Keputusan Menteri Negara Agraria No. Sk.113/Ka/1961 (TLN Nomor 2334). Pengakuan hak tersebut diberikan sesudah hasil pemeriksaan Panitia itu diumumkan selama 2 bulan berturut-turut di Kantor Kepala Desa, Asisten Wedana dan Kepala Agraria daerah yang bersangkutan dan tidak ada yang menyatakan keberatan, baik mengenai haknya, siapa yang empunya maupun letak, luas dan batas-batas tanahnya. Ayat (2) menyatakan bahwa Pengakuan hak yang dimaksudkan di dalam ayat (1) Pasal ini diberikan oleh Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan. Jika menurut Keputusan Menteri Negara Agraria No. Sk.112/Ka/1961 jo SK 4/Ka/62 (TLN Nomor 2333 dan 2433) yang berwenang memberikan hak yang diakui itu instansi yang lebih rendah, maka instansi itulah memberikan pengakuan tersebut. Ayat (3) berbunyi bahwa Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 6, maka di dalam surat keputusan pengakuan hak tersebut ditegaskan konversi haknya menjadi hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai, yang atas permohonan yang berkepentingan, akan didaftar oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan. Di daerah mana Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sudah mulai diselenggarakan, maka pengakuan hak itu baru mulai berlaku, jika haknya telah didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Tanah. Atas permintaan yang berhak diberikan kepadanya sertifikat atau sertifikat sementara, dengan dipungut biaya menurut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.

Selanjutnya secara jelas dalam Pasal 24 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 berbunyi Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya. Ayat (2) Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu pendahulunya, dengan syarat : a. penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya. b. penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.

Sehingga ketentuan ini telah sesuai dengan Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menerangkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi sebagai negara hukum adalah setiap warga negara terikat dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kesimpulan

          Dari pembahasan ini, penulis dapat simpulkan sebagai berikut:

  1. Kepastian hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tanah adat sebelum berlaku UUPA telah diatur juga dalam UUPA mengenai ketentuan konversi serta dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
  2. Kepastian hukum itu berupa tanah adat yang belum didaftarkan maka harus dikonversi dulu sesuai dengan amanat PP Nomor 24 Tahun 1997.
  3. Terhadap hak atas tanah adat yang memiliki bukti-bukti tertulis atau tidak tertulis dimana pelaksanaan konversi dilakukan oleh Panitia Pendaftaran Ajudikasi yang bertindak atas nama Kepala Kantor Pertanahan Nasional, prosesnya dilakukan dengan penegasan hak sedangkan terhadap hak atas tanah adat yang tidak mempunyai bukti dilakukan dengan proses pengakuan hak.

Sumber : https://www.pa-cilegon.go.id/artikel/251-kepastian-hukum-bagi-tanah-adat-setelah-adanya-undang-undang-nomor-5-tahun-1960-tentang-peraturan-dasar-pokok-pokok-agraria