Sultan Kasepuhan: Tidak Ada Sistem Monarki di Indonesia

Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat, menyatakan tidak ada sistem monarki di Indonesia terkait dengan kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono X di Yogyakarta.

Yang terjadi sekarang justru mirip monarki, karena istri dan anak kepala daerah bisa kembali mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Hal tersebut diungkapkan Sultan Sepuh XIV PRA Arif Natadingrat, Rabu (1/12). “Di Indonesia saat ini tidak ada sistem monarki, baik itu di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten dan kota,” kata Arif yang pernah menjadi pimpinan PAH 1 Bidang pemerintahan DPD RI.

Yogyakarta, menurutnya, sekalipun memiliki kerajaan tetap memiliki partai politik dan DPRD. Bahkan ada pula APBD yang disahkan oleh DPRD. Semua itu sudah menunjukkan sistem demokrasi yang berjalan dengan baik.

Ada pun penentuan seorang raja di Keraton Yogyakarta yang sekaligus menjabat sebagai gubernur, ujarnya, sudah merupakan hasil musyawarah dan mufakat bangsa yang dituangkan secara resmi dan legal dalam Undang-Undang (UU) Keistimewaan Yogyakarta. “Jadi semua sudah merupakan kesepakatan bangsa sejak dahulu,” katanya.

Sistem Monarki tidak Selalu Buruk

Tidak semua sistem pemerintahan monarki buruk. Terbukti banyak negara yang menganut sistem monarki dan semuanya berjalan baik.

Hal itu diungkapkan Guru Besar Sejarah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Djoko Suryo kepada mediaindonesia.com, Rabu (1/12). Bahkan, negara-negara di Eropa yang menganut sistem ini menjadi negara yang maju,” jelasnya.

Ia menyatakan hal ini menanggapi pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal keistimewaan Yogyakarta.

Djoko mengatakan monarki itu memiliki dua pengertian dasar diantaranya adalah monarki absolut dan monarki konstitusional. “Monarki absolut itu sudah kuno, untuk zaman sekarang ini sudah tidak terpakai sistem pemerintahan itu. Sistem ini berlaku pada kerajaan-kerajaan pada zaman abad pertengahan. Jadi untuk saat ini, sistem tersebut sudah tidak mungkin digunakan lagi,” imbuhnya.

Dalam sistem monarki absolut ini. Djoko menjelaskan raja tidak pernah salah dalam melakukan sistem pemerintahannya. Mengangkat dan memecat seseorang adalah mutlak kewenangan raja dan tidak bisa ada yang melarangnya,

“Nah, untuk sistem pemerintahan di Yogyakarta sekarang ini sudah menggunakan sistem monarki konstitusional. Sultan memang menjabat bak seorang raja, namun itu hanya berlaku di lingkungan keraton saja. Di luar itu, semua orang bersalaman dengan Sultan layaknya orang biasa. Tidak perlu berlutut atau menyembah-nyembah,” terang Djoko.

Ia mengatakan sistem monarki konstitusional itu sama sekali tidak buruk. “Belanda, Jepang, Malaysia, Thailand, dan Inggris menganut sistem monarki konstitusional dan terlihat negara mereka baik-baik saja dan bahkan makmur,” sambungnya.

Lebih lanjut, Djoko menjelaskan untuk sekarang ini dan sejak tahun 1945, DI Yogyakarta sudah menganut sistem monarki konstitusional. “Dilihat dari mana? Tentu dilihat dari kepemimpinan Sultan yang tidak absolut. Sultan bekerja dalam aturan demokrasi yang sudah diatur di dalam undang-undang,”papar Djoko.

Djoko menuturkan sebagian besar masyarakat Yogyakarta tentu masih mengakui Sultan sebagai pemimpin dan tetap berharap agar sistem pemerintahan di”rumah” mereka tidak ada yang berubah. Karena mereka menganggap bahwa sistem yang sudah mereka jalankan puluhan tahun tidak bertentangan dengan aturan tatanan pemerintahan. Buktinya, sampai saat ini semua berjalan baik-baik saja.

~ oleh TOMMY UTAMA SH pada 01/12/2010.

Tinggalkan komentar